hakikat haji menurut ilmu makrifat

ilmuKhodam Malaikat tidak hanya bermanfaat bagi anda tetapi juga bisa untuk menolong sesama Their Knowledge in Magick transcends All religions and Magick types In Indonesia there is "Ilmu Khodam dengan anda memerintahkan khodam mustika ini maka datanglah para bidadari ghoib yang sesuai tujuan anda Khodam juga tidak bisa berkomunikasi dengan Perjalananlurus (sai) dalam ibadah haji yang tampak mengulang tujuh kali diibaratkan sebagai perjalanan yang tidak mengulang: perjalanan Hajar dari kondisi "tidak memiliki air" dan berakhir dengan kondisi "memperoleh air." Inilah hakikat perjalanan linear Hajar dalam misi menyelamatkan putranya, Ismail (al-Nah}l [16]: 120). diberitahukankepada saudara-saudara semua, kami membuka pengisian ilmu Khodam prewangan macan putih,jarak jauh maupun langsung, Dalam konteks spiritual, istilah "khodam" digunakan khusus untuk menyebut makhluk gaib yang mengikuti pemilik ilmu spiritual atau yang mendiami suatu benda pusaka net_am0129-khodam-malaikat-guardian-angelic-khodam Kuncikeberkahan dari ilmu tasawuf ada di tangan Guru Mursyid, maka sudah selayaknya seorang salik dapat menjaga sopan santunnya, menjaga kepatuhan dan ketaatan pada Mursyidnya. Harus pasrah dan percaya pada kebijaksanaan Mursyid, ibarat pasrahnya jenasah pada orang yang memandikannya. Perjalanan yang ditempuh para salik sangat panjang dan Ilmumenggerakkan perilaku (ahwal), perilaku membentuk hidup. "Dengan ilmu, ruh kenali makrifat dan tauhid, tumbuhlah cinta dan beribadah semata kepada-Nya," terang pengampu kajian online Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara (Ngariksa) melalui chanel youtube ini. Kelima, al-Qabd (genggaman). Yakni, maqom hamba yang jiwanya dalam genggaman Allah. 1 phần 6 giờ bằng bao nhiêu phút. Sufisme merupakan salah satu tradisi tasawuf yang berasal dari agama-agama dunia, khususnya Islam. Apa yang menjadi ciri khas dan karakter dari tasawuf ini adalah motif mereka dalam melakukan suatu pencarian mistik mystical quest dan oleh karena itu menjalankan perjalanan spiritual menuju Tuhannya Realitas yang sejati, absolut dan hakiki. Terkait dengan definisi Tasawuf sendiri, di sini penulis mengambil definisi dari Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara 2006 yang mengatakan bahwa Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritualitas, dan spiritualitas ini dapat mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya. Karena keterkaitannya dengan agama yakni Islam, maka kebanyakan kaum arif[1] meyakini bahwa penamaan khusus kehidupan mistis direpresentasikan dalam gabungan antara syari’at, tarekat tharîqah, dan hakikat haqîqah. Artinya, mencapai hakikat adalah dengan berpegang pada substansi agama dan hukum-hukumnya dengan memelihara lahiriah syariat.[2] Demikian pula yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara 2006 bahwa tasawuf bukanlah sesuatu yang harus dipandang bid’ah dalam kaitannya dengan ibadah syari’at, melainkan sebagai pelengkap dan sekaligus hiasan bagi ibadah-ibadah formal kita sehari-hari, yang sering kita rasakan telah kehilangan makna spiritualnya. Dalam keterbatasan penulis di sini, penulis hendak membatasi makalah ini pada penjelasan mengenai gagasan sentral dalam sufisme Islam yakni mengenai 3 level perjalanan spiritual yang dikenal dengan Syari’at, Tarekat, Hakikat yang dalam bahasa Inggris dikenal juga dengan istilah The Law, The Way and The truth. Di sini pun kami akan menambahkan makrifat ma’rifah yang juga dikatakan sebagai salah satu tahapan dalam melakukan perjalanan spiritual, serta akan mencoba secara sepintas memaparkan mengenai intergrasi antara level-level tersebut. BAB II PEMBAHASAN 1. SYARIAT Syariat jika ditinjau secara bahasa berasal dari turunan kata شَرَعَ – يَشْرَعُ – شَرْعًا yang berarti membuat peraturan atau undang-undang.[3] Iyad Hilal dalam bukunya “Studi Tentang Ushul Fiqih”[4] memberi definisi bahwa Menurut pengertian bahasa, istilah syariat berarti sebuah sumber air yang tidak pernah kering, dimana manusia dapat memuaskan dahaganya. Dengan demikian pengertian bahasa ini-syariat atau hukum Islam ini dijadikan sebagai pedoman sumber pedoman.[5] Dalam dunia tasawuf syariat adalah syarat mutlak bagi salik penempuh jalan ruhani menuju Allah. Tanpa adanya syariat maka batallah apa yang diusahakannya. Berkaitan dengan ini pemakalah mengambil pandangan Sirhindi mengenai syariat sebagai landasan tasawuf yang diambil dari buku “Sufism and Shariah” yang ditulis oleh Muhammad Abdul Haq Ansari. Sirhindi menggunakan dua makna berkaitan dengan istilah syariat, yaitu makna umum yang biasa digunakan oleh para ulama yang berkaitan dengan penyembahan dan ibadah-ibadah, moral dan kemasyarakatan, ekonomi dan kepemerintahan yang sudah dijelakan oleh para ulama. Makna kedua, adalah pemaknaan yang lebih luas, yaitu, apapun yang telah Allah perintahkan baik secara langsung wahyu maupun melalui nabi-Nya itulah yang disebut syariat. Dengan pemaknaan tersebut maka syariat meliputi segala lini kehidupan. Syariat bukan hanya tentang shalat, zakat, puasa dan haji semata. Tapi lebih dari itu, syariat adalah aturan kehidupan yang mengantarkan manusia menuju realitas sejati. Syariat merupakan titik tolak keberangkatan dalam perjalanan ruhani manusia. Maka bagi orang yang ingin menempuh jalan sufi, mau tidak mau ia harus memperkuat syariatnya terlebih dahulu. Ada sebagian orang berpendapat bahwa syariat itu hanyalah titik tolak menuju makrifat dan ketika sudah mencapai hakikat maka ia terlepas dari syariat, karena menurut mereka syariat itu hanya untuk orang awam. Pandangan yang seperti ini ditolak oleh Sirhindi. Ia berpendapat bahwa antara syariat dan hakikat itu menyatu, tidak bisa dipisahkan. Syariat adalah bentuk lahir dari hakikat dan hakikat adalah bentuk batin dari syariat. Mereka yang menyatakan bahwa syariat berlaku untuk orang awam dan tidak bagi orang khusus, maka mereka telah melakukan bidah tersembunyi dan kemurtadan. Mereka yang lebih maju dalam sufisme membutuhkan ibadah sepuluh kali lipat ketimbang pemula; untuk perkembangan mereka tergantung pada pengabdian dan perolehan mereka dikondisikan atas keistikomahannya menaati syariat.’[6] Adapun ketika seseorang mencapai kasyf penyingkapan, maka kasyf itu tidak bisa disejajarkan dengan wahyu. Dalam arti kasyf tidak menghasilkan produk syariat yang baru. Kasyf bisa membantu menguatkan keyakinan kebenaran syariat. Juga, dengan kasyf seseorang bisa mengetahui mengenai sunnah Nabi yang dianggap lemah oleh ulama padahal sangat dianjurkan oleh Nabi atau sebaliknya. Tapi tidak sedikitpun perolehan kasyf ini memproduksi syariat baru. The kashf of sufi may be right or it may be wrong.[7] Jika ide-ide yang didapat dari kasyf itu kontradiksi dengan syariat, maka ia dalam keadaan mabuk dan dianggap tidak benar. Berbeda dengan Sirhindi, menurut al-Ghazali wahyu yang didalamnya memuat syariat itu penuh dengan bahasa simbolik dan metafora, penafsiran terbaik adalah melalui kasyf, begitu juga dengan pandangan Ibn Arabi. Sehingga kasyf bisa disejajarkan dengan wahyu. Menurut hemat pemakalah, walaupun kasyf itu bisa menguak makna-makna dari wahyu, namun kedudukan kasyf hanyalah sebagai penguat apa yang ada dalam wahyu. 2. TAREKAT Tarekat secara bahasa berasal dari kata الطَّريْقُ jamaknya طُرُق dan اَطْرُق yang bermakna jalan, lorong atau gang. Kata tersebut diturunkan menjadi الطَّريْقَةُ yang bermakna jalan atau metode. Istilah tarekat ini menunjuk pada metode penyucian jiwa yang landasannya diambil dari hukum-hukum syariat. Semua muslim wajib menerapkan syariat, namun ada sebagian muslim yang hanya berfokus pada kewajiban-kewajiban ibadah dan ada sebagian lagi yang selain fokus pada kewajiban-kewajiban ibadah juga memperhatikan adab, akhlak, dan sisi batin dari syariat itu, yang sebetulnya semua itu sudah dijelaskan dalam syariat. Dalam Mystical Dimensions Of Islam, Annemarie Schimmel memberikan definisi tarekat yaitu “The tariqa, the “path” on which the mystics walk, has been defined as “the path which comes out of the sharia, for the main road is called shari, the path, tariq.” This derivation shows that the Sufi’s considered the path of mystical education a branch of that high -way that consists of the God-given law, on which every Muslim is supposed to walk. No path can exist without a main road from which it branches out ; no mystical experience can be realized if the binding injunctions of the shar’ia are not followed faithfully first. The path , tariqa, however, is narrower and more difficult to walk and leads the adept—called salik, “wayfarer”—in his suluk, “wandering,” through different stations maqam until he perhaps reaches, more or less slowly, his goal, the perfect tauhid, the existential confession that God is One.”[8] Definisi tersebut memberi gambaran bahwa tarekat adalah jalan khusus bagi salik penempuh jalan ruhani untuk mencapai kesempurnaan tauhid, yaitu ma’rifatullah. Jalan yang diambil oleh para sufi berasal dari jalan utama, syariat, dengan disiplin yang ketat sehingga terasa lebih sulit dibandingkan mereka yang tidak melakukan disiplin diri. Pada tataran syariat, kesadaran tentang kepemilikan pribadi begitu dominan, sehingga perlu adanya aturan untuk menata kehidupan bermasyarakat dalam keteraturan dan menghargai hak-hak pribadi, milikmu adalah milikmu dan milikku adalah milikku. Sedangkan pada tataran tarekat kesadaran tentang milik pribadi mulai luntur dan sikap mendahulukan orang lain lebih dominan, milikmu adalah milikmu dan milikku juga milikmu. Dan pada tingkatan makrifat kepemilikan hanya milik Allah. Dalam pandangan Sirhindi, tarekat adalah bagian dari syariat karena syariat punya tiga bagian, yaitu, pengetahun, tindakan, dan niat yang murni ikhlas. Setiap salik harus mengetahui apa yang diperintahkan dan dilarang oleh syariat baik ranah ibadah mahdah maupun muamalah. Ketika ia sudah mengetahui, maka ia wajib melakukannya dengan ikhlas, yaitu semata-mata perbuatan itu ditujukan hanya untuk Allah. Inilah aspek batin syariat. Inti tauhid adalah ikhlas, dan untuk mempraktekan ikhlas tidaklah mudah. Hal itu disebabkan karena manusia cenderung memenuhi tuntutan pribadinya ketimbang memenuhi apa yang sudah Allah perintahkan dan Allah larang. Selain itu manusia mudah terjebak dan diperbudak oleh hawa nafsunya. Maka diperlukan metode atau latihan-latihan untuk memantapkan ikhlas dalam setiap tindakannya mukhlis, sehingga ikhlas itu menjadi bagian dari dirinya mukhlas, metode itulah yang disebut tarekat. Tarekat memberikan tahapan-tahapan yang lebih rinci dalam mendaki tangga kesempurnaan tauhid. Tapi secara umum tahap pertama yang harus dilalui adalah tahapan taubat, yaitu berkomitmen untuk kembali kepada-Nya dengan melakukan apapun yang Dia syariatkan dan memurnikan tujuan dari tujuan-tujuan selain-Nya yang diakhiri dengan tahapan makrifat, ada juga yang mengatakan tahap mahabbah. Antara tahap taubat dan tahap akhir ada banyakan tahapan yang harus dilalui, namun intinya semua itu berawal dari ikhlas dan berakhir pada sikap rida sebagai buah pencapaian kesempurnaan tauhid. Secara umum ada tiga proses dalam tarekat untuk bisa sampai pada hakikat, yaitu mujahadah, riyadhah, dan muhasabah. Mujahadah artinya berjuang dengan sungguh-sungguh, berupaya secara gigih dan berusaha dengan giat dan keras melawan hawa nafsu dan berkonfrontasi dengan syetan, agar hubungan vertikal, horizontal, dan diagonal tidak terganggu.[9] Yang kedua adalah riyadhah. Riyadhah Olah Ruhani bisa dilakukan tanpa harus meninggalkan tugas dan kewajiban kita sehari-hari, serta tidak harus menghilangkan pemenuhan hak-hak kita terhadap diri, keluarga, dan masyarakat sosial.[10] Inti dari riyadhah adalah konsisten dan istikomah. Riyadhah bisa dilakukan dengan zikir, memperbanyak ibadah dan doa. Proses yang ketiga adalah muahasabah. Yang terakhir adalah muhasabah. Muhasabah adalah merenungkan dan menetapkan dengan membedakan apa yang tidak disenangi oleh Allah Azza wa Jalla dan apa yang disukai-Nya.[11] Bentuknya ada dua macam yaitu, yang telah lewat dan yang akan datang. Yang telah lewat dengan cara menilai apakah kita sudah menunaikan kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan dan apakah kita sudah mengabaikan hak-hak Allah? Sedangkan yang akan datang telah ditentukan oleh al-Qur’an dan sunnah nabi. Cara terbaik dalam muhasabah adalah dengan mengingat mati yang kemudian menghasilkan khauf rasa takut dan raja’ harapan. Adapun tarekat dalam bentuk institusi baru muncul pada abad 11. Awalnya merupakan gerakan bersifat privat yang dilakukan oleh orang-orang yang sepaham pada awal-awal masa Islam, akhirnya tumbuh menjadi suatu kekuatan sosial utama yang menembus sebagaian besar masyarakat Muslim.[12] Kemunculan tarekat ini dikarenakan adanya hubungan antara mursyid-murid. Mursyid sebagai pembimbing yang mengarahkan murid yang dibimbing menuju hakikat sejati. Biasanya tarekat yang berkembang sekarang dinisbahkan pada mursyid tertentu yang dianggap punya metode tersendiri yang khas, seperti Suhrawardiyah diambil dari nama Abu Hafs as-Suhrawardi, Syazilliyah diambil dari Abul Hasan al-Syazili. Para pendiri tersebtu adalah para mursyid yang telah membuat kodifikasi serta melembagakan pengajaran dan praktik-praktik tarekatnya yang khas, meskipun pada banyak kasus reputasi mereka sebagai wali jauh melebihi lingkaran kelompoknya.[13] 3. HAKIKAT A. Pengertian Hakikat Dalam Kamus Ilmu Tasawuf, dikatakan bahwa Kata Hakikat Haqiqah seakar dengan kata al-Haqq, reality, absolute, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kebenaran atau kenyataan. Makna hakikat dalam konteks tasawuf menunjukkan kebenaran esoteris yang merupakan batas-batas dari transendensi manusia dan teologis. Adapun dalam tingkatan perjalanan spiritual, Hakikat merupakan unsur ketiga setelah syari’at yang merupakan kenyataan eksoteris dan thariqat jalan sebagai tahapan esoterisme, sementara hakikat adalah tahapan ketiga yang merupakan kebenaran yang esensial. Hakikat juga disebut Lubb yang berarti dalam atau sari pati, mungkin juga dapat diartikan sebagai inti atau esensi.[14] Secara terminologis, kamus ilmu Tasawuf menyebutkan bahwa Hakikat adalah kemampuan seseorang dalam merasakan dan melihat kehadiran Allah di dalam syari’at itu, sehingga hakikat adalah aspek yang paling penting dalam setiap amal, inti, dan rahasia dari syari’at yang merupakan tujuan perjalanan salik. Hakikat juga dapat diartikan sebagai sebuah afirmasi akan eksistensi wujud baik yang diperoleh melalui penyingkapam dan penglihatan langsung pada substansinya, atau juga dengan mengalami kondisi-kondisi spiritual, atau mengafirmasi akan ketunggalan Tuhan.[15] Tokoh sufi lainnya, Ahmad Sirhindi, mendefinisikan hakikat sebagai persepsi akan realitas dalam pengalaman mistik.[16] Sementara penafsiran Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara mengenai Hakikat adalah dari sudut pandang dimana banyak para sufi menyebut diri mereka ahl-haqiqah’ dalam pengertian sebagai pencerminan obsesi mereka terhadap kebenaran yang hakiki’ kebenaran yang esensial. Contoh salah satu sufi dalam kasus ini adalah al-Hallaj w. 922 yang mengungkapkan kalimat ana al-Haqq’ Aku adalah Tuhan. Obsesi terhadap hakikat ini tercermin dalam penafsiran mereka terhadap formula la ilaha illa Allah’ yang mereka artikan tidak ada realitas yang sejati kecuali Allah’. Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya yang hakiki, dalam arti yang betul-betul ada, ada yang absolut, sementara yang selainNya keberadaanya bersifat tidak hakiki atau nisbi, dalam arti keberadaannya tergantung kepada kemurahan Tuhan. Jika kita ingin menjelaskannya melalui analogi, maka hubungan antara Tuhan dan yang selainNya ini ibarat matahari. Dia lah yang yang memberikan cahaya kepada kegelapan dunia, dan menyebabkan terangnya objek-objek yang tersembunyi dalam kegelapan tersebut. Dia jualah yang merupakan pemberi wujud.[17] Pernyataan la ilaha illa Allah’ ditafsirkan para sufi sebagai penafian terhadap eksistensi dari yang selain-Nya, termasuk eksistensi dirinya sebagai realitas. Hal ini tampak jelas pada konsep fana’ , atau fana al-fana’yang merupakan ekspresi sufi akan penafian dirinya. Sedangkan konsep baqa adalah afirmasi terhadap satu-satunya realitas sejati, yaitu Allah. Fana’ dan baqa’ ini dipandang sebagai stasion’ maqam terakhir yang dapat dicapai para sufi. Inilah maqam yang paling diupayakan untuk dicapai oleh para sufi melalui metode tazkiyatun nafs, dengan menyingkirkan ego mereka yang dianggap sebagai kendala dari perjalanan spiritual mereka menuju Tuhan. Dengan begitu, ibadah mereka terbersihkan dari segala unsur syirik sebagai syarat diperkenankannya masuk kehadirat Tuhan. Rumi pernah berkata, “Lobang jarum bukanlah untuk dua ujung benang.”[18] B. Fana’ dan Baqa’ sebagai ciri khas Hakikat Kita tentunya sudah mengetahui kisah mengenai salah seorang sufi, al-Hallaj yang dalam pengalaman mistiknya ia menyatakan Ana al-Haqq’ yang berarti aku adalah Tuhan. Nah, pengalaman al-Hallaj inilah yang disebut dengan tauhid sufistik. Tauhid sufistik adalah ketika kalimat syahadat la ilaha illa Allah’ tidak lagi kita artikan Tiada Tuhan selain Allah’, melainkan Tidak ada realitas hakikat yang sejati kecuali Allah’. Di sini dapat dipahami bahwa hanya Allah lah yang real, yang hakiki, sedangkan yang lainnya dalah semu. Pernyataan tiada yang Wujud kecuali Dia adalah pernyataan yang benar-benar diyakini dan dihayati sebagai suatu kenyataan yang tak bisa diragukan lagi. Dalam penghayatannya yang terdalam, seorang sufi bahkan akan kehilangan kesadaran akan dirinya. Inilah yang dimaksud dengan fana’. Setelah itu hanya kehadiran Tuhan lah yang ia rasakan, dan ia hidup dalam hadirat dan keberadaan Tuhan. Inilah yang disebut dengan baqa’, saat ketika seorang sufi hanya akan merasakan keberadaan Tuhan, sebagai satu-satunya wujud yang hakiki. Adapun Hakikat, sebagai tujuan akhir, ditemukannya Kebenaran sejati, yang merupakan pengalaman personal yang sempurna mengenai tawhid, kesatuan dengan Tuhan, telah dideskripsikan dengan indahnya dalam sebuah sajak Persia, The true lover finds light only if, like the candle, he is his own fuel, consuming himself. Attar of Neishapur w. 1230 Yang kurang lebih dapat diterjemahkan sebagai, Pecinta sejati dapat menemukan cahaya hanya jika, ia seperti lilin, ia adalah bahan bakarnya sendiri, memakan dirinya sendiri. Sajak ini adalah merupakan salah satu pengalaman akan kesatuan dengan Tuhan. Adapun terjadinya kesatuan dengan Tuhan ini dapat dikiaskan dengan gambaran seekor ngengat yang diumpamakan sebagai jiwa manusia yang sedang terpesona saat berdansa dan berdenging di sekitar api lilin yang diumpamakan sebagai Kebenaran hingga akhirnya ia terbakar dan menjadi satu dengannya. Teoritikus Sufi pada awal abad ketiga telah memperkenalkan istilah-istilah teknis untuk menggambarkan tahapan-tahapan yang berbeda dari kiasan ini. Akan tetapi yang paling penting dalam pembahasan ini adalah konsep mengenai fana dan baqa’. Istilah ini dalam literatur bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai annihilation’, extinction’, atau cessation of being’, sedangkan Annemarie Schimmel mengindikasikan bahwa dalam bahasa Arab tidak ada kata kerja to be’, dan mengacu pada istilah Jerman tradisional Entwerden, de- becoming’, sebagai yang lebih akurat.[19] Nah, di sinilah para sufi berupaya untuk mencapai tingkatan ini dengan latihan-latihan meditasi ketat dan keadaan-keadaan tak sadar. Fana’ merupakan suatu proses menghalau realitas ego manusia, dan ketika proses ini selesai, maka baqa, sebagai urutan yang baru dan lebih dalam lagi pun terbangun – kelangsungan, kepatuhan, subsistensi dalam, kesatuan’ dengan Tuhan. Konsep mengenai fana’ dan baqa’ ini telah ditafsirkan sebagai kekhasan dari hakikat yang merupakan puncak tertinggi atau titik akhir dari tarekat, meskipun demikian tingkatan hakikat bukanlah tujuan akhir yang mudah untuk dicapai, jarang sekali orang-orang yang mampu mencapai pada level tersebut. Sufisme dalam Islam menyediakan sistem yang luas salah satu pengertian dari tarekat atas doktrin-doktrin dan latihan-latihan yang merupakan suatu metode untuk menjadi sebuah alat dalam menemukan Tuhan. [20] 4. MAKRIFAT A. Pengertian Makrifat Sebelum mendefinisikan Makrifat baik secara etimologis maupun terminologis pertama-tama saya ingin mengutip beberapa definisi makrifat dari beberapa teoritikus yang menggunakan istilah hakikat sebagai yang mendekati istilah makrifat. Beberapa definisi yang saya ambil adalah sebagai berikut Ahmad Sirhindi mengatakan bahwa Hakikat dalam literatur sufi berarti persepsi akan realitas dalam pengalaman mistik; yang berbeda dengan pengertian realitas secara rasional yang dilakukan oleh para filosof, pada satu sisi, dan keyakinan/iman pada orang-orang awam, pada sisi yang lain. Pengertian ini selalu diganti dengan istilah makrifat;Tyll Zybura dalam essaynya menyebutkan bahwa ketika seorang Muslim telah menguasai syari’at, maka tokoh sufi mengatakan bahwa, ia dapat mengikuti thariqah dari mistik, dan jalan’ yang mengantarkan pada pengetahuan yang lebih tinggi dan mungkin pada akhir dari jalan ini akan menemukan Hakikat, kebenaran, atau makrifat, gnosis. Karena keterbatasan akan pemahaman saya dalam menganalisa posisi antara makrifat dan hakikat, atau meninjau perbedaannya dari segi sudut pandangnya, maka saya akan memulai pembahasan makrifat ini dengan mengutip salah satu perkataan Rumi mengenai makrifat yang dipahami sebagai suatu stasion atau keadaan state, First there is knowledge. Then there is asceticism. Then there is knowledge that comes after that asceticism. The ultimate knower’ is worth a hundred thousand ascetics. Jalal al-Din Rumi[21] Perkataan Jalal al-din Rumi dipahami bahwa pertama-tama ada pengetahuan. kemudian ada asketisisme. Kemudian ada pengetahuan yang datang setelah asketisisme tersebut. Meskipun penulis masih terbatas dalam memahami, menganalisis, maupun menafsirkan syair di atas. Akan tetapi, berhubungan dengan makrifat yang dimaksud Rumi, maka saya beranjak pada makna makrifat itu sendiri secara etimologi maupun terminologi. Dalam kamus ilmu tasawuf dikatakan bahwa Makrifat berasal dari kata arafa, yu’rifu, irfan, ma’arifah, yang artinya adalah pengetahuan, pegalaman, atau pengetahuan ilahi. Secara terminologis dalam kamus ilmu tasawuf, Makrifat diartikan sebagai ilmu yang tidak menerima keraguan atau pengetahuan. Selain itu, Makrifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat oleh orang-orang pada umumnya. Sedangkan menurut para sufi, makrifat merupakan bagian dari tritunggal bersama dengan makhafahcemas terhadap Tuhan dan mahabbah cinta.[22] Ketiganya ini merupakan sikap seseorang perambah jalan spiritual thariqat. Makrifat yang dimaksud di sini adalah pengetahuan sejati. Gagasan mengenai adanya konsep makrifat dimunculkan pertama kali oleh Dzu al-Nun al-Misri. Menurutnya makrifat ada 3 macam[23] Pertama, makrifat kalangan orang awam orang banyak pada umumnya, tauhid melalui makrifat kalangan ulama dan para filsuf yang memikirkan dan merenungkan fenomena alam ini, mereka mengetahui Allah melalui tanda-tanda atau dalil-dalil makrifat kalangan para wali dan orang-orang suci; mereka mengenal Allah berdasarkan pengalaman kesufian mereka, yakni mengenal Tuhan dengan Tuhan. Inilah makrifat hakiki dan tertinggi dalam tasawuf. Dan makrifat inilah yang hendak dibahas dalam makalah yang singkat ini. Sebelumnya kita telah mengetahui mengenai 3 tingkatan dalam perjalanan menuju Tuhan. Tiap tingkat dibangun berdasarkan tingkatan sebelumnya. Syarat pertama adalah mengambil dan mengikuti syari’at, hukum Allah untuk kehidupan manusia, yang pada waktunya akan membawa seseorang ke sirat al-mustaqim, yaitu jalan agama yang lurus. Jalan ini membawa seseorang ke dalam hakikat kebenaran akhir yang tak terbantahkan dan mutlak tentang seluruh eksistensi. Dalam kaitannya dengan makrifat, bahwa semua pengetahuan tersembunyi ada pada alam hakikat. Ketika seseorang mencapai pengetahuan tentang kebenaran Tuhan maka ia memasuki suatu tahap yang disebut makrifat’ pengetahuan.[24] Dari perbincangan para sufi, dapat dipahami bahwa pada intinya makrifat sangat terkait dengan keterbukaan mata batin, yang memungkinkan melihat Tuhan atau melihat penampakan Tuhan. Keterbukaan mata batin sangat terkait erat dengan kesucian batin itu sendiri, sedangkan kesucian batin yang prima, bagi selain para nabi, adalah sesuatu yang harus diusahakan dengan usaha keras dalam waktu yang panjang.[25] Baik lewat meditasi, tazkiyatun nafs maupun latihan-latihan lainnya yang berkaitan dengan pencarian mistik. Zybura dalam esainya mengatakan bahwa selain dari 3 tingkatan yang telah dideskripsikan dalam pencarian menuju kesatuan dengan Tuhan, ada lagi tahapan-tahapan yang lebih banyak yang secara umum dibedakan sebagai stasion station/ maqam. Pencapaian pada tiap maqam tergantung kepada perbandingan dari anak tangga-anak tangga yang kita daki dengan upaya kita sendiri, dan kondisi’ state/ahwal sendiri merupakan hadiah dari Tuhan yang lebih sulit lagi untuk diklasifikasikan.[26] Untuk lebih jauh membahas mengenai makrifat ini, penulis memilih untuk memaparkannya melalui penjelasan yang diuraikan oleh Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara. B. Pengetahuan Sejati dan Perbedaannya dengan Ilmu Pengetahuan Yang dimaksud dengan makrifat sebagai pengetahuan sejati/hakiki tidak sama dengan ilm yang kita ketahui sebagai ilmu pengetahuan. Pertama-tama yang membedakannya adalah cara perolehannya dimana ilmu pengetahuan diperoleh secara hushuli melalui mediasi/representasi, tidak secara langsung. Sementara makrifat diperoleh secara hudhuri, langsung hadir dalam intuisi manusia dan dialami secara langsung. Perbedaan lainnya terletak pada objek dari pengetahuan itu sendiri. Adapun objek dari ilmu pengetahuan adalah objek-objek yang bersifat fisik, sementara objek dari makrifat kebanyakan bersifat non-fisik. Secara rincinya, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara menguraikan perbedaan antara keduanya dalam tabel berikut, SisiIlmu Pengetahuan IlmPengetahuan Sejati MakrifatPerolehanHushuli Tidak Langsung, dipelajari, representasiHudhuri Langsung, dialamiObjekDi luar diri subjek, mahsusat terindra, fisik atau juga ma’qulatHadir begitu saja ke dalam jiwa atau kesadaran seseorang, kebanyakan non- fisik ma’qulat.InstrumenIndra dan AkalIntuisi/HatiSifatTidak Orisinil langsung dari si subjek, kecuali dari otoritas orang terdahulu yang pertama kali menemukannya dan langsung dari Tuhan, bukan melalui simbol-simbol seperti buku, perkataan orang lain, dsb.Tataran PengalamanIndrawi dan rasionalIntuitifKepastianTidak mendatangkan kepastian intuitifMendatangkan kepastian intuitifJarak antara subjek dan objekAda dualisme Ada jarak yang lebar antara subjek dan objekAntara subjek dan objek terdapat keintiman, sebagaimana konsep kesatuan dari pengetahuan, yang mengetahui dan yang diketahui alim, ilm, dan ma’lumPencapaianMelalui upaya keras dan bisa upaya keras namun pencapaian tergantung pada kemurahan BahtsiIntuitif Dzawqi Dari segi objek, meskipun ilmu-ilmu rasional juga sama-sama menangkap ma’qulat, sebagaimana intuisi, tetapi cara di antara keduanya berbeda. Sementara akal menangkap objek-objek non-fisik melalui objek-objek yang telah diketahui, jadi bersifat inferensial, intuisi menangkap objek-objeknya langsung dari sumbernya, apakah Tuhan atau malaikat, melalui apa yang dikenal sebagai penyingkapan’ mukasyafah atau penyinaran’ iluminasi dan penyaksian’ musyahadah. Penyingkapan ini bisa terjadi dalam keadaan jaga atau mimpi, dapat mengambil bentuk ilham atau wahyu, atau terbukanya kesadaran hati akan kenyataan yang selama ini tersembunyi demikian rapat.[27] Secara sederhana Mulyadhi Kartanegara memberikan analogi mengenai bahwa kepastian intuitif yang dimaksud di sini adalah pengalaman yang dialami secara langsung laksana orang yang mengetahui manis dengan mencicipi butiran gula. Kita tidak dapat mengetahui rasa manis melalui pengkajian akan definisi atau konsepsi mengenai manis. Atau pun melalui membaca buku-buku tebal yang menjelaskan mengenai rasa gula maupun asal usul gula. Selama apa pun kita pelajari semua itu selama lidah kita tidak merasakannya sendiri maka kita tidak akan pernah mengetahui rasa manis yang sebenarnya. Karena manis tidak bisa kita ketahui melalui rangkaian huruf dari kata Untuk mengetahui manis maka kita harus mendatangi yang empunya manis itu sendiri gula, dan merasakannya sendiri secara langsung. Kesatuan pengetahuan dan yang diketahui dijelaskan dengan ilmu hudhuri bahwa objek diketahui secara langsung setelah dihadirkan dalam kesadaran jiwa seseorang. Ketika objek hadir dalam kesadaran diri maka objek itu dapat teridentifikasi dengan diri sendiri, ketika itu terjadi maka objek-objek itu menjadi dirinya, maka keintiman pengetahuan itu kini sama dengan terhadap diri sendiri, sementara pengetahuan tentang diri sendiri dapat kita ketahui secara langsung tanpa harus ada pemilahan antara subjek dan objek. Maka dalam pengetahuan tentang diri sendiri terdapat kesamaan antara yang mengetahui, pengetahuan, dan yang diketahui, karena ketiga pemilahan ini merujuk pada entitas yang sama dan satu diri kita sendiri. Makrifat juga diandaikan seperti cahaya barakah Tuhan yang membersit ke dalam hati dan meliputi segala daya manusia dengan sorotan-sorotan yang menyilaukan. Bagai kaca yang bersih dan selalu dibersihkan sehingga kemudian cahaya mampu memasukinya dan menerangi jantung rumah dan beriluminasi menerangi semua yang tersembunyi/ tak nampak. C. Analogi Rumi Makrifat bagai Mutiara di Dasar Laut Jalal al-Din Rumi pernah mengumpamakan makrifat sebagai mutiara di dalam kerang yang berada di dasar laut karena keindahannya yang membuat banyak orang menyukainya. Menurut Rumi makrifat tidak dapat diperoleh secara inderawi, karena hal itu sama saja dengan mencari-cari mutiara yang berada di dasar laut dengan hanya datang dan memandangi laut dari darat. Sedangkan makrifat juga tidak bisa diperoleh melalui penggalian nalar, karena hal demikian sama saja dengan menimba laut untuk mendapatkan mutiara itu sendiri. Agar bisa mendapatkan mutiara makrifat itu, maka dibutuhkan penyelam yang ulung dan beruntung, yakni seorang mursyid yang berpengalaman. Rumi mengatakan butuh pada penyelam yang ulung dan beruntung karena pencapaian itu bergantung pada kemurahan Tuhan. Karena tidak semua kerang yang ada di laut mengandung mutiara yang didamba. Menyelam di sini diartikan sebagai menyelami lubuk atau dasar hati kita yang dalam. Karena laut itu begitu dalam, maka dibutuhkan penyelam mursyid yang benar-benar professional dalam teknik penyelaman. Cara menyelam inilah yang kita sebut dengan metode intuitif. 5. INTEGRASI ANTARA SYARI’AT, TAREKAT DAN HAKIKAT Dalam pemaparan ini penulis hanya akan membahas relasi antara syariat, tarekat dan hakikat secara sepintas karena keterbatasan pemahaman yang penulis miliki. Barangkali kebanyakan orang berpikir bahwa Syariat berbeda dengan Tarekat, dan Tarekat berbeda dengan Hakikat. Mereka membayangkan bahwa ada perbedaan yang pasti yang melekat pada setiap level nya, kemudian mereka melekatkan hal-hal tertentu pada masing-masingnya yang mana pengatribusian itu tidaklah tepat, khususnya bagi kelompok sufi.[28] Adapun miskonsepsi ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mereka akan kondisi-kondisi spiritual yang beragam various spiritual states pada setiap levelnya dan juga kekurang pemahaman mereka akan keimanan dan prinsip-prinsip mereka sendiri. Apa yang harus diklarifikasi adalah bahwa Syari’at, Tarekat maupun hakikat merupakan sinonim bagi kebenaran yang satu meskipun istilahnya berbeda-beda. Sesungguhnya pada setiap 3 level itu adalah merupakan prasyarat bagi level yang lainnya. Dan keseluruhannya satu sama lain saling terkoneksi. Adapun penjelasannya yang lebih lebar akan dikupas berdasarkan pada pandangan Sayyid Haydar Amuli mengenai koneksi antara 3 level ini. Hal yang pertama-tama mesti kita ketahui adalah bahwa ketiga nama tersebut Syariat, Tarekat maupun Hakikat merupakan aspek-aspek dari satu realitas. Yang kedua, meskipun ketiganya berasal dari realitas yang satu, tapi sangat perlu kita ketahui bahwa orang-orang hakikat lebih tinggi dari orang-orang tarekat, demikian pula orang-orang tarekat lebih tinggi dari orang-orang syari’at,[29]dan tak ada penyimpangan apapun yang ditemukan dalam tingkatan tersebut. Sekedar menyebutkan kembali bahwa Syari’at adalah nama dari jalan yang diberikan Tuhan yang sudah ada sebelum kehidupan manusia di dunia ini. Syari’at meliputi ushul al-din dan furu’ al-din, juga meliputi kewajiban-kewajiban dan petunjuk-petunjuk yang mengakui adanya tingkatan tertentu akan pilihan manusia dari segi metode atau waktu mereka dalam menjalani kewajiban-kewajiban mereka. Pun meliputi seluruh tindakan-tindakan yang paling baik di hadapan Tuhan. Sedangkan tarekat adalah jalan dari kebijaksanaan tertinggi. Jalan dari tindakan yang paling baik dan paling meyakinkan. Dengan demikian, jalan apapun yang mengantarkan manusia kepada yang terbaik dan paling meyakinkan dalam perkataan maupun tindakan, dalam karakternya yang ia peroleh, ataupun kondisi-kondisi states yang ia alami, maka disebut dengan tarekat. Hakikat adalah afirmasi akan eksistensi wujud, baik melalui penyingkapan dan penyaksian substansinya, atau dengan mengalami keadaan spiritual, atau mengafirmasi akan Ketunggalan Tuhan. Dengan demikian, Sayyid Haydar Amuli dalam Jami’ al-Asrar hendak mengatakan bahwa makna dari Syari’at adalah bahwa kamu beribadah kepada-Nya, dan Tarekat adalah kamu mencapai kehadiran-Nya, dan Hakikat adalah bahwa kamu menyaksikan-Nya.[30] Adapun Zybura menggambarkan relasi antar ketiga level dalam bagan berikut, 1. Syari’at2. TarekatIslam eksoterik ZhahirIslam Esoterik BathinPenafsiran al-Qur’an secara Literal TafsirPenafsiran al-Qur’an secara alegoris Ta’wil“Milikmu adalah Milikmu,“Milikmu adalah Milikmu,Milikku adalah Milikku.”Milikku adalah Milikmu juga.”3. Hakikat/ Makrifat“There is neither mine nor thine” Sudah terang dikatakan bahwa syari’at berarti kamu dipertahankan dan terpelihara dalam eksistensi oleh perintah-Nya, tarekat adalah bahwa kamu melaksanakan perintah-Nya, dan Hakikat adalah bahwa kamu ada oleh dan dalam diri-Nya. Ketiga level ini tercakup oleh syari’at Islam dan sama sekali tidak di luar darinya. Allah telah mengacu kepada tiga level ini dengan frase ilm al-yaqinKepastian Pengetahuan, ayn al-yaqin kepastian penglihatan atau pengalaman, dan haqq al-yaqinkepastian kebenaran realitas. Terdapat level-level manusia yang berbeda, yakni ada yang awam dan yang elit, dan yang elit dari yang elit Diumpamakan sebagai Permulaan Beginning, antara Intermediate, Akhir Final. Dengan demikian, Syari’at adalah nama dari hukum Tuhan dan pola perilaku Nabi, dan juga merupakan permulaan. Tarekat dengan nama dan pengertiannya mengindikasikan tahapan intermediate dan hakikat dengan nama dan pengertiannya mengindikasikan tahapan akhir. Tak ada lagi tingkatan yang ada di luar dari ketiga level ini. Bagaimanapun, Syari’at itu mungkin meskipun tanpa tarekat, akan tetapi tarekat tidak akan mungkin jika tanpa syari’at; demikian pula, tarekat itu mungkin tanpa hakikat, tapi hakikat tanpa tarekat itu tidak mungkin. Hal ini karena setiap level itu adalah penyempurna bagi yang lainnya. Oleh karena itu, meskipun tidak terdapat kontradiksi antara tiga level tersebut, namun kesempurnaan dari Syari’at hanya mungkin diperoleh melalui tarekat dan begitu pula dengan tarekat yang hanya mungkin didapatkan kesempurnaannya melalui hakikat. Deskripsi bahwa tiap level itu tidak kontradiksi dijelaskan oleh Sayyid Haidar Amuli sebagai berikut Para ahli syari’at dianalogikan sebagai para Fuqaha’ serta kondisi-kondisi ahli tarekat dianalogikan sebagai para sarjana dan filosof beserta stasion-stasion Hakikat dianalogikan sebagai sufi/gnostik, beserta stasion-stasion mereka.[31] Dalam kaitannya dengan penjelasan di atas, maka kesempurnaan dari kesempurnaan tergabung secara bersamaan dalam ketiga level. Karena jumlah dari dua hal, atau dua keadaan ketika digabungkan bersama sudah pasti lebih baik dan lebih sempurna dari pada yang dua ketika dalam keadaan terpisah. Oleh karena itu, orang-orang hakikat lebih superior dalam hubungannya dengan orang-orang syari’at dan tarekat.[32] BAB III PENUTUP KESIMPULAN Dari uraian singkat di atas pemakalah menyimpulkan bahwa antara syariat, tarekat, makrifat dan hakikat tidak bisa dipisahkan. Syariat adalah bentuk lahir dari hakikat dan hakikat adalah bentuk batin dari syariat. Syariat adalah landasan awal menuju hakikat dan penyingkapan hakikat tidak menggugurkan syariat, bahkan menguatkan kebenaran syariat. Jika bertentangan maka penyingkapan tersebut diragukan, yang boleh jadi itu adalah kerjaan setan. Untuk sampai pada hakikat, maka dibutuhkan metode dan disiplin diri yang aturan dasarnya sudah ditentukan oleh syariat. Proses menuju realitas sejati hakikat inilah yang disebut tarekat. Ketika selubung hijab terbuka maka tampaklah realitas sejati, maka saat itu pula penempuh jalan spiritual memperoleh makrifat. Sebagai penutup kami nukilkan sebuah hadis yang dinukil oleh Syaikh Sayyid Haidar Amuli. Rasulullah SAW bersabda, “Syariat adalah ucapanku, tarekat adalah perilakuku, hakikat adalah halku, makrifat adalah modalku, akal adalah pilar agamaku, cinta adalah dasarku, kerinduan adalah tungganganku, rasa takut adalah sahabat karibku, ketabahan adalah senjataku, ilmu adalah teman seperjalananku, tawakal adalah pakaianku, qana’ah adalah harta simpananku, kejujuran adalah tempat persinggahanku, yakin adalah tempat kembaliku, dan kefakiran adalah kebanggaanku. Karena semua itu, aku memiliki keunggulan atas seluruh nabi.”[33] [1] Arif adalah istilah yang digunakan bagi orang yang telah mencapai ma’rifah hakiki. Pembahasan mengenai ma’rifah hakiki akan dibahas di dalam makalah pada bab berikutnya. [2] Pernyataan ini didapatkan dari potongan tulisan yang berjudul Islamic Mysticism 1 Question and Answer mengenai Prinsip-prinsip Mistisisme Teoritis. Tulisan ini merupakan bahan kuliah the study of Comparative Mysticism yang dibimbing oleh Dr. Sayyed Mohsen Miri. Beliau mengatakan bahwa fondasi dasar Islam adalah rukun Islam yang menjadi prinsip-prinsip dasar agama ushuluddin, sementara dalam mencapai tujuan tertinggi dalam beragama adalah dengan melalui pengetahuan dan aksi dalam akar-akar agama ushul dan cabang-cabangnya furu’. Adapun yang ushul berfungsi untuk mensucikan kehidupan batin, sementara yang furu’ untuk mensucikan kehidupan lahir. Maka siapapun yang memiliki keinginan untuk mensucikan diri secara lahir maupun bathin, maka harus mendirikan ushul dan furu’ dalam kerangka tiga level dari Syari’at, Tarekat dan Hakikat. [3] Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap [4] Diterjemahkan dari Studies in Usul ul-Fiqh, diterbitkan oleh Islamic Cultural Workshop, Walnut USA [5] Iyad Hilal, Studi tentang Ushul Fiqih, Bogor Pustaka Thariqul Izzah, 2007, hal. 8 [6] Muhammad Abdul Haq Ansari, Sufism and Shariah A Study of Shaykh Ahmad Sirhindi’s Effort to Reform Sufism, The Islamic Foundation , 1990, hal 75 [7] Ibid, hal. 71 [8] Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions Of Islam, USA The University of North Carolina Press, 1975, hal. 98 [9] Kafie, Tasawuf Kontemporer, Jakarta Penerbit Republika, 2003, hal. 58 [10] Ibid, hal. 70 [11] Muhasibi, Sebuah Karya Klasik Tasawuf Memelihara Hak-Hak Allah. Diterj. Abdul Halim, Bandung Pustaka Hidayah, 2006, hal. 53 [12] Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf. Penerj. Arif Anwar, Yogyakarkat Penerbit Pustaka Sufi, 2003, hal 153 [13] Ibid, hal. 162 [14] Kata yang bergaris miring merupakan pendapat dari penulis. [15] Pengertian ini penulis dapatkan dari slide power point dalam mata kuliah Islamic Mysticism yang dibuat oleh Dr. Sayyed Mohsen Miri. ICAS Jakarta, 2005. Setelah penulis coba selidiki akan sumber referensinya, maka kemungkinan pengertian ini didapatkan dari sebuah buku karya Sayyid Haidar Amuli. The Inner secrets of The Path Dorset Element Books, 1989. [16] Ansari, Muhammad Abdul Haq, Sufism and Shari’ah, A study of syakh Ahmad Sirhindi’s Effort to reform Sufism, Malaysia The Islamic Foundation, 1990, Hal. 74. [17] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta Penerbit Erlangga, 2006, Hal. 6. [18] Ibid, hal. 9. [19][19] Tyll Zybura. Islamic Mysticism, Quelle 1999, hal. 4. Lihat juga Schimmel, A.; hal. 142 and Denny, hal. 233. [20] Ibid., hal. 4-5. [21] Tyll Zybura. Islamic Mysticism, Quelle 1999, hal. 5. Lihat juga Shah, I.; The Way of the Sufi;hal. 189. [22] Al-Ghazali dan al-Qushairi berbeda pendapat mengenai urutan manakah yang lebih dahulu antara makrifat dan mahabbah. Al-Ghazali berpendapat bahwa kita tidak akan mampu mencintai Tuhan tanpa mengenal Tuhan terlebih dahulu, sehingga menurut al-Ghazali urutan makrifat ada di bawah mahabbah. Sementara al-Qushairi berpandangan bahwa karena kecintaan pada Allah maka melahirkan pengetahuan hakiki Ilahi Makrifat, sehingga menurut pandangan ini, Makrifat menjadi tujuan akhir dan tujuan tertinggi di atas mahabbah. Adapun pengetahuan penulis hanya terbatas pada pemaparan mengenai perbedaan ini. Islam Kaffah Syariat, Tarekat, Hakikat, dan Ma'rifat Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., MA. - Secara umum ada tiga prinsip dalam beragama Islam yang pokok yaitu Islam, Iman dan Ihsan berdasarkan pada hadis sahih riwayat Muslim dari Umar bin Khattab -yang dikenal dengan hadits Jibril -dimana menurut Sayyid Bakari, trilogi itu merupakan kumpulan tahapan dan tingkatan yang saling terkait dalam mengamalkan islam, lebih-lebih oleh seorang salik. Hal itu dikaitkan dengan percakapan antara malaikat Jibril dan Rasulullah yang ringkasannya sebagai berikut Hai Muhammad. Beritahukan kepadaku apa itu Islam! Rasulullah Saw berkata “Islam adalah Anda bersaksi tiada tuhan yang disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, tegakkan shalat, bayarkan zakat, puasa di bulan Ramadhan, laksanakan haji jika Anda mampu berjalan ke sana. Ia berkata Anda benar. Kami heran, ia bertanya kemudian ia membenarkan. Ia berkata lagi Beritahukan kepadaku apa itu Iman! Rasul menjawab Anda percaya kepada Allah, MalaikatNya, kitan-kitabNya, Rasul-rasulNya, hari Akhir, dan anda beriman kepada qadar baik dan buruk. Ia menjawab Anda benar. Ia berkata lagi Beritahu aku apa itu Ihsan! Rasul berkata "Anda sembah Allah seolah-olah melihatnya, dan jika Anda tidak dapat melihatnya, maka Ia pasti melihatmu." Fath al-Bari li Ibn Hajr, 125/1 Sayyid Bakari seperti ingin mengatakan, bahwa islam yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah syariat, iman adalah hakikat dan ihsan itu serupa ma'rifat, ketiga jenjang ini pada dasarnya adalah pengejewantahan dari makna takwa. Maka untuk mengamalkannya butuh tarikat dari seorang pembimbing mursyid. Agar tidak terjadi ketimpangan, maka ketiganya harus diterapkan secara keseluruhan, yakni syariat, tarekat, dan hakikat untuk mencapai puncak makrifat pengetahuan. Syariat tanpa hakikat adalah kosong dan hakikat tanpa syariat adalah batal serta tak berdasar. Jika dianalogikan, maka syariat itu ibarat perahu, tarekat adalah nahkodanya, hakikat adalah pulau yang hendak dituju dari perjalanan itu, sementara ma'rifat adalah tujuan akhir, yaitu bertemu dengan Sang Pemilik Pulau. Dengan demikian, hakikat dan ma'rifat tak akan mampu dituju oleh salik, tanpa menggunakan perahu dan melalui nahkoda. Karena itu menurut Sayyid Bakri, umat Islam tidak boleh terkecoh untuk mudah meninggalkan syariat atas nama hakikat atau ma'rifat. والمعنى أن الطريقة والحقيقة كلاهما متوقف على الشريعة فلا يستقيمان ولا يحصلان إلا بها فالمؤمن وإن علت درجته وارتفعت منزلته وصار من جملة الأولياء لا تسقط عنه العبادات المفروضة في القرآن والسنة Artinya, “Maknanya, tarekat dan hakikat bergantung pada pengamalan syariat. Keduanya takkan tegak dan hasil tanpa syariat. Sekalipun derajat dan kedudukan seseorang sudah mencapai level yang sangat tinggi dan ia termasuk salah satu wali Allah, ibadah yang wajib sebagaimana diamanahkan dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak gugur darinya,” Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya, Al-Haramain tt, h. 12. Sayyid Bakri mencontohkan shalat tahajud Rasulullah SAW sehingga kedua kakinya bengkak, karena aktivitas shalat malamnya semalam suntuk. Ketika ditanya, “Bukankah Allah telah mengampuni dosamu yang lalu dan mendatang?” Rasulullah menjawab, “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?” Maksudnya adalah kewajiban ibadah berlaku untuk memenuhi hak kehambaan dan hak syukur atas nikmat. Para wali dengan derajat kewalian mereka tidak pernah keluar dari batas kehambaan dan pihak yang menerima nikmat Allah,” Sayyid Bakri 12. Jadi shalatnya Rasullah ini adalah bagian ibadah yang bisa dilihat dari sisi syariat. Syariat dan Hakikat Syariat adalah wujud ketaatan salik kepada agama Allah dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Syariah adalah sisi praktis dari ibadah dan muamalah dan perkara-perkara ubudiyah. Tempatnya adalah anggota luar dari tubuh. Yang mengkaji khusus ilmu syariah disebut fuqaha ahli fiqih. Menurut Syekh Tajudin as-Subki, syariat adalah segala sesuatu yang ditanggungkan kepada seorang hamba. Sedangkan hakikat adalah inti dan makna dari perkara tertentu. Syariat berbasis fiqih, sementara hakikat berbasis iman. Dengan kata lain, syariat adalah pengejawantahan dari perbuatan-perbuatan fiqih, yang digali dari dalil-dalil secara terperinci” Tajudin as-Subki, kitab jam’u al-jawami’ 1/42 Relasi keduanya tak terpisahkan. Karena syariat harus diperkuat dengan hakikat dan hakikat dibatasi oleh ketentuan hukum syariat. Sehingga, keberadaan syariat seharusnya mampu mendorong komunikasi langsung "syuhud" antara seorang hamba dan khalik tanpa perantara apa pun. Ma'rifat dan Tarekat Jakarta Apa itu makrifat? Memahami makrifat adalah bagian dari pengetahuan. Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI menjelaskan pengertian makrifat adalah bagian dari tingkat penyerahan diri kepada Tuhan, yang naik setingkat demi setingkat sehingga sampai ke tingkat keyakinan yang kuat. Pengertian Istihsan adalah Upaya Menetapkan Hukum, Ini Pendapat Ulama dan Macamnya Tasawuf Adalah Ilmu Penting dalam Islam, Kenali Sejarah dan Prinsipnya Sufi adalah Ahli Ilmu Tasawuf, Pahami Pengertian, Sejarah, dan Prinsipnya Bagaimana Islam memandang tentang makrifat dan kepada siapa saja makrifat itu melekat? Orang yang memahami tentang makrifat adalah arif bijaksana, cerdik dan pandai, atau berilmu. Tidak sembarangan orang bisa memahami tentang makrifat. Makrifat adalah ilmu tasawuf untuk memahami lebih dekat tentang Tuhannya. Dalam buku berjudul Akhlak Tasawuf oleh Abuddin Nata, pengertian makrifat adalah upaya penghayatan kepada Allah SWT makrifatullah menjadi tujuan utama dan sekaligus menjadi inti ajaran tasawuf. Itu pengertian singkat tentang makrifat. Berikut ulas lebih mendalam tentang pengertian makrifat, tanda, dan macam-macamnya, Rabu 12/1/2022.Masjid Jami Al-Islam mulai didirikan tahun 1770 oleh bangsawan ulama dari Minangkabau, Sultan Raja Burhanuddin. Tempat ibadah ini terletak di Jalan KS Tubun Nomor 61 Jakarta Pusat, merupakan saksi perjuangan Islam di Al-Quran. Sumber pixabayDalam Kamus al-Munawwir oleh Ahmad Warson Munawwir, pengertian makrifat adalah berasal dari kata `arafa, yu’rifu, irfan, memiliki arti mengetahui atau mengenal. Orang yang memahami tentang makrifat adalah arif bijaksana, cerdik dan pandai, atau berilmu. Dalam Islam, makrifat adalah ilmu tasawuf untuk memahami lebih dekat tentang Tuhannya. Dalam buku berjudul Akhlak Tasawuf oleh Abuddin Nata, pengertian makrifat adalah upaya penghayatan kepada Allah SWT makrifatullah menjadi tujuan utama dan sekaligus menjadi inti ajaran tasawuf. Tidak sembarangan orang bisa memahami tentang makrifat. Dijelaskan lebih mendalam, makrifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan bersifat eksoteris zahiri, tetapi lebih mendalam terhadap peekanan esoteris batiniyyah dengan memahami rahasia-Nya. Pemahaman makrifat adalah berwujud penghayatan atau pengalaman jiwa. Pengetahuan makrifat adalah lebih tinggi nilai hakikatnya dari yang biasa didapat orang-orang pada umumnya dan didalamnya tidak terdapat keraguan sedikitpun. Itulah pengertian dan pemahaman makrifat yang perlu MakrifatIlustrasi Al-Qur'an. Credit tanda seseorang mendapat makrifat? Dalam buku berjudul Rahasia Shalatnya Orang-Orang Makrifat oleh Imam al-Ghazali, dijelaskan makrifatullah adalah pengetahuan yang di dalam hati tidak memiliki keraguan terhadap zat dan sifat Allah SWT. Tanda makrifat adalah bisa berwujud ketika seorang hamba meyakini seyakin-yakinnya bahwa Allah SWT itu wujud, Esa, zat yang Maha Agung, berdiri sendiri, dan tidak ada satupun yang bisa menyerupainya. Meyakini sepenuhnya, Allah SWT hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar, dan Maha Melihat dengan segala sifat-Nya. Dalam buku berjudul Risalah Sufi al-Qusyayri oleh Abdul Karim ibn Hawazin al-Qusyairi, menjelaskan salah satu tanda makrifat adalah tercapainya rasa ketentraman dalam hati, semakin orang bertambah makrifatnya maka akan semakin bertambah ketentramannya. Apa yang diketahuinya dari pengalaman itu, memberi ketenangan hati. “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati,” QS. Yunus 62. Hal yang sama dijelaskan oleh Harun Nasution melansir kajian teori penelitian yang diterbitkan Universitas Islam Negeri Walisongo, pada Rabu 12/1/2022 orang dengan kemakrifatan memiliki tanda sebagai berikut 1. Tanda makrifat adalah bagi orang arif mereka bangga dalam kepapaannya, apabila disebut nama Allah SWT dia bangga. Apabila disebut nama dirinya dia merasa miskin. 2. Tanda makrifat adalah jika mata yang terdapat dalam hati terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan saat itu yang dilihatnya hanya Allah SWT. 3. Tanda makrifat adalah memahami bahwa makrifat merupakan cermin, jika seorang arif melihat ke cermin maka yang dilihatnya hanyalah Allah SWT. 4. Tanda makrifat adalah semua yang dilihat orang arif baik waktu tidur maupun saat terjaga hanyalah Allah SWT. 5. Tanda makrifat adalah seandainya makrifat berupa bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat betapa sangat luar biasa cantik serta indahnya, dan semua cahaya akan dikalahkan dengan cahaya keindahan yang sangat gemilang MakrifatIlustrasi Al-Qur’an. Credit tiga macam makrifat yang bisa dipahami untuk mengenal lebih dekat dengan Allah SWT. Dalam buku berjudul Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme oleh A Rivay Siregar, Zu al-Nun al-Misri membagi makrifat menjadi tiga. Apa saja? 1. Makrifat al-Tauhid Awam Ini sebagai makrifatnya orang awam, yaitu makrifat yang diperoleh kaum awam dalam mengenal Allah SWT. Melalui perantara syahadat, tanpa disertai dengan argumentasi. Makrifat jenis inilah yang pada umumya dimiliki oleh orang muslim. Orang awam mempunyai sifat lekas percaya dan menurut, mudah mempercayai kabar berita yang dibawa oleh orang yang dipercayainya dengan tanpa difikirkan secara mendalam. 2. Makrifat al-Burhan wa al-Istidlal Khas Ini merupakan makrifatnya mutakalimin dan filsuf metode akal budi, yaitu makrifat tentang Allah SWT melalui pemikiran dan pembuktian akal. Pemahaman yang bersifat rasional melalui berpikir spekulatif. Makrifat jenis kedua ini banyak dimiliki oleh kaum ilmuan, filsuf, sastrawan, dan termasuk dalam golongan orang-orang khas. Golongan ini memiliki ketajaman intelektual, sehingga akan meneliti, memerikasa membandingkan dengan segenap kekuatan akalnya. 3. Makrifat Hakiki khawas al-khawas Ini merupakan makrifat Waliyullah, yaitu makrifat tentang Allah SWT melalui sifat dan ke-Esa-an-Nya, diperoleh melalui hati nuraninya. Makrifat jenis ketiga inilah yang tertinggi, karena makrifat ini diperoleh tidak hanya melalui belajar, usaha dan pembuktian. Melainkan anugerah dari Allah SWT kepada orang-orang sufi atau auliya’ yang ikhlas dalam beribadah dan mencintai Allah SWT. * Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan. الشريعة – الطريقة – الحقيقة – المعرفة Syari’ah – Thariqah – Haqiqah – Ma’rifah Pendahuluan Empat istilah ini sangat populer di masyarakat tanah air. Tentunya hal ini menunjukkan keutamaan pengetahuan akan istilah-istilah tersebut. Pada kesempatan kali ini kita akan membahas tema ini. Semoga Allah Swt. memberikan kemudahan. Baik dalam menjelaskan maupun memahaminya dengan baik. 1. Syariat Secara bahasa, syariat artinya jalan umum, jalan utama, jalan besar. Secara istilah, syariat artinya hukum Islam. Membicarakan masalah halal haram. Ada syariat ada fiqih. Keduanya biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah yang sama, yaitu hukum Islam. Padahal keduanya berbeda. Syariat itu dalilnya harus bersifat qath’i. Baik qath’i tsubut maupun qath’i dalalah. Sedangkan fiqih itu dalilnya tidak harus qath’i. Boleh zhanni. Baik zhanni tsubut maupun zhanni dalalah. Maka di sinilah fiqih itu menjadi lebih rumit daripada syariat. Lebih lanjut mengenai hal ini silakan baca pula Bagaimana Kita Membedakan Syariat dan Fiqih *** 2. Thariqat Secara bahasa, thariqah itu artinya jalan, metode, cara. Nama lainya adalah manhaj. Thariqah itu bentuk tunggal. Jamaknya adalah thariqat. Thariqah ini mirip dengan syariat. Hanya saja, thariqah itu bersifat khayali dan bathiniyah. Tidak terlihat secara kasat mata. Manhaj pun demikian. Sedangkan syariat lebih bermakna lahiriyah. Istilah thariqah ini biasa digunakan dalam dua makna. Pertama, biasa digunakan oleh kaum shufi. Thariqah diartikan sebagai jalan kebatinan yang akan mengantarkan pada suatu tujuan. Yaitu Allah Swt. Kedua, biasa digunakan oleh para akademisi di bidang pendidikan. Thariqah diartikan sebagai jalan untuk menyampaikan suatu ilmu. Dalam dunia tasawuf ada beberapa istilah utama, yaitu thariqah mursyid salik bai’at Thariqah adalah jalan yang hendak dilalui. Mursyid adalah orang yang menjadi penunjuk jalan itu. Salik adalah orang yang sedang dituntun dalam jalan itu. Bai’at adalah akad yang disepakati oleh mursyid dan salik. Di Indonesia berkembang banyak thariqah shufi. Dari yang besar sampai yang kecil. *** 3. Hakekat Secara bahasa, hakekat artinya inti dari sesuatu. Secara istilah, hakekat artinya tujuan utama dari ajaran agama Islam. Misalnya – Shalat secara syariat merupakan gerakan dan bacaan tertentu sebagai rukun Islam yang kedua setelah syahadat. Namun hakekatnya adalah mengingat Allah. – Zakat merupakan syariat juga. Hakekatnya adalah peduli kepada fakir-miskin. – Puasa adalah syariat pula. Hakekatnya adalah pengendalian diri. Bukan hanya dari yang haram dan makruh. Namun juga dari yang halal atau mubah. – Haji adalah syariat dengan melaksanakannya di Mekkah. Rukun Islam yang kelima. Hakekatnya adalah muktamar internasional umat Islam. *** 4. Makrifat Secara bahasa, makrifat artinya ilmu dan pengetahuan. Secara istilah, makrifat artinya memahami apa yang ada di balik yang zhahir. Mirip dengan hakekat. Hal ini berangkat dari adagium من عرف نفسه فقد عرف ربه “Barangsiapa telah mengenal dirinya sendiri, maka sesungguhnya dia telah mengenal Tuhannya.” Artinya, barangsiapa ingin mengenal Allah dengan baik, hendaknya dia terlebih dahulu mengenali dirinya sendiri dengan baik. Sebaliknya, bila manusia gagal mengenali dirinya sendiri, maka dia pun tidak akan pernah mampu mengenali Allah dengan baik. *** Hubungan antara Syariat, Hakekat, Thariqat dan Makrifat Keempat istilah ini memiliki hubungan yang sangat kuat. Keempatnya merupakan satu kesatuan yang ada dalam diri seorang muslim yang benar. Hal ini sama dengan istilah muslim dan mukmin. Bila kedua istilah itu digunakan dalam waktu yang bersamaan, maka keduanya memiliki perbedaan. Bila kedua istilah itu digunakan dalam waktu yang berbeda, maka keduanya memiliki makna yang sama. Demikian pula halnya dengan keempat istilah ini. Bila keempat istilah itu disebutkan dalam waktu yang berbeda-beda, maka sesungguhnya keempatnya itu adalah sama. Ibaratnya sebuah kelapa, maka Syariat adalah sabutnya. Thariqat adalah batoknya. Hakekat adalah dagingnya. Makrifat adalah airnya. Keempatnya merupakan satu kesatuan. Tidak ada satu pun buah kelapa yang tidak memiliki keempat unsur tersebut. Kecuali buah kelapa itu telah rusak, cacat, atau dimakan hama. Ibaratnya pohon, maka Syariat adalah batang, cabang dan rantingnya. Thariqat adalah daunnya. Hakekat adalah akarnya. Makrifat adalah buahnya. Keempatnya saling menyangga, menghidupi dan bersinergi. Tidak ada cerita akar mengkafir-kafirkan batang daun membid’ah-bid’ahkan buah batang memfasik-fasikkan akar buah membodoh-bodohkan daun dan seterusnya. Justru keempatnya akan tumbuh dengan sangat serasi dan menghasilkan manfaat yang luar biasa bagi semesta. Penutup Demikian sedikit ringkasan mengenai keempat istilah yang amat populer di masyarakat Indonesia. Semoga ada manfaatnya. Allahu a’lam. _____________________ Bahan bacaan Artikel Syari’ah, Haqiqah, Thariqah. Oleh Syeikh Abduh Hasan Rasyid al-Masyhadi.

hakikat haji menurut ilmu makrifat